Selasa, 12 Juli 2011

SURAT UNTUK PARA PEMIMPIN KAMI

Yth. Para Pemimpin Kami
di- Tempat

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saya adalah seorang dari sejuta bahkan ratusan juta jiwa yang berada di bawah pimpinan bapak/ibu. Saya adalah seorang dari sekian banyak anak bangsa yang mengharap kasih sayang bapak/ibu.
Hari ini,
Untuk kesekian kalinya, untuk kesejuta kalinya, bahkan saya sudah tidak tahu sudah berapa kali kah Stasiun Televisi baik swasta maupun negeri menayangkan tentang nasib saudara-saudaraku yang mati kelaparan, yang hidup luntang-lantung di jalanan, yang menyambung hari-hari dengan hanya menelan sesuap nasi tanpa lauk setiap harinya, bahkan banyak teman-teman yang harus menekuk badanya karena tak mampu menemukan segenggam nasi untuk mengganjal perut mereka yang sudah menyanyikan keroncong terindahnya.
Untuk kesekian kalinya, saya melihat adik-adik ku berjajar di lampu merah sambil menengadahkan tangan demi perut mereka. Untuk kesekian kalinya, saya melihat adik-adik ku yang seharusnya menikmati masa kecilnya dengan bermain dan belajar bersama keluarga harus bahkan DI TUNTUT untuk mencari makan sendiri oleh kehidupan yang mereka jalani. Begitu keras kehidupan.
Hari ini,
Entah berapa anak, saya tak tahu,
Yang masih merindukan bangku sekolah, yang masih bermimpi “JIKA BESAR NANTI,AKU AKAN MENJADI DOKTER” atau “AKU INGIN MENJADI SEORANG POLISI” dan ribuan mimpi anak bangsa yang lain, yang terpaksa harus mereka kubur di hati mereka karena keadaan yang tak memungkinkan. ‘Jangankan untuk sekolah, untuk makan satu kali dalam sehari saja sudah begitu sulit untuk kami’. Itulah salah satu perkataan yang pernah saya dengar dari saudaraku yang nun jauh disana melalui layar Televisi yang ada di rumah. Miris melihatnya, maksud untuk membantu, namun apa daya karena keadaan saya hanya lebih sedikit dari mereka.
Saya sering menangis jika mengingat teman-teman saya itu, meski saya tak tahu siapa nama mereka, tak tahu dimana mereka tinggal, tapi satu hal yang saya tahu karena kami mempunyai perasaan yang sama, karena kami sama-sama mempunyai mimpi untuk membangun negeri ini. Hanya bedanya, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk sekolah, walaupun biaya pendidikan cukup mencekik ekonomi keluarga saya, namun saya bersyukur karena Allah masih memberi saya kesempatan itu.
Hari ini,
Tak tahu berapa kali, Televisi menayangkan kesengsaraan kami. Kesengsaraan kami yang ada di bawah pimpinan anda Pak/Bu. Rumah yang seharusnya bersih, mau tidak mau harus berbau tidak sedap karena rumah kami di depan rumah para sampah. Penyakit A sampai Z terus menghantui kami, padahal penyakit itu tahu bahwa kami tak punya uang untuk mengobatinya. Tapi, dia tetap datang menghampiri kami. Gizi buruk yang selalu mengahantui fikiran ibu kami ketika melahirkan adik-adik kami, kekhawatiran yang timbul akibat tidak terpenuhinya gizi saat mengandung dan saat menyusui, tidak terpenuhinya kebutuhan gizi saat anak sudah mulai mengkonsumsi makanan selain ASI. Bukan kami tak mau berusaha memenuhinya. Tapi, seperti yang bapak dan ibu ketahui untuk makan sesuap nasi sehari lengakp dengan lauk dan pauknya saja kami setengah mati, apalagi di tambah dengan membeli susu, buah, dan lain-lain. Kami tak mampu...

Hari ini,
Sudah berapa kali saya lihat di layar Televisi, jika bulan Ramadhan tiba, masyarakat berjejal menunggu antrian zakat. Meski mereka tahu bahwa meraka hanya akan mendapa sembako secukupnya atau mendapat uang dengan jumlah yang tak sampai Rp. 100.000,00. Mereka rela berjejal-jejal, dari anak-anak sampai nenek-nenek tak ketinggalan. Kericuhan tak jarang mewarnai peristiwa ini. Bahkan kadang kematian menjemput meraka saat itu karena terinjak-injak atau karena kekurangan oksigen, tapi mereka tak peduli itu, yang ada di fikiran mereka adalah ‘Bagaimana caranya agar bisa mendapat jatah!’.
Hari ini,
Ah...
Tak akan habis jika kami membahas apa yang kami rasa. Tak akan pernah habis kelihan kami. Tak akan habis air mata kami menuntut keadilan. Tak akan habis suara kami meneriakkan suara kemerdekaan yang kami rindukan. Kami juga tak mahu menjadi orang-orang yang MANJA.


Hari ini,
Untuk kesepuluh, keseratus, keseribu, kesejuta kalinya keadilan di negeri ku terinjak-injak. Hukum tergeletak di kubangn sampah, tak berarti hanya karena money. ‘Kitab Undang-undang tergeletak di selokan’ seingat ku itulah yang pernah di ucapkan seseoarang yang begitu saya kagumi W.S Rendra dalam sebuah puisinya. HAKIM (HUBUNGI AKU KALAU INGIN MENANG) itulah yang saya dengar dari seorang tokoh sastra yang begitu saya kagumi Bapak Taufik Ismail.
Sesungguhnya saya masih kurang mengerti dengan apa yang dimaksud oleh dua Sastrawan besar itu. Namun, seiring berjalanya waktu, saya seperti melihat hal itu di dunia nyata bukan lagi hanya dalam kata-kata di selembar kertas.
Saya melihat di layar Televisi yang memberitakan tentang kasus korupsi bapak-bapak/ibu-ibu kami yang memimpin kami tak kunjung mencapai hasil yang memuaskan. Padahal yang diberitakan sudah jelas bahwa mereka para pemimpin dan wakil kami memakan uang kami, mengambil hak kami sebagai rakyat. ‘Terjerat Kasus Korupsi Miliaran Rupiah’ katanya. Tapi saya tak tahu kenapa, saya tak melihat ketegasan bapak-bapak/ibu-ibu kami yang mewakili kami dalam menegakkan hukum di Negeri tercinta ini dalam menangani kasus-kasus tersebut. Saya tak tahu apa alasannya sehingga proses hukum berjalan begitu lambat. Entah benar atau tidak apa yang penyair-penyair ternama kita tuliskan dalam bait-bait puisi mereka. Namun, melihat fenomena seperti ini sepertinya wajar jika masyarakat mengatakan hal serupa dengan itu. Keadilan entah bersembunyi dimana, entah mengapa dia bersembunyi, entah siapa kah gerangan yang ditakutinya sehingga dia lari dan bersembunyi.
Hak kami mereka ambil, kini kami terlunta, melarat, miskin, papa. Hingga akhirnya tak jarang demi sesuap nasi kami harus mencuri sepotong roti, atau mencuri buah di kebun orang lalu menjualnya atau mencuri ayam di kandang tetangga. Mencuri. Itulah yang kami lakukan demi menyambung hidup kami. Ketika kami ketahuan mencuri saat itu juga massa menghajar kami habis-habisan, saat itu juga Pak Hakim memutuskan hukuman 3 tahun penjara atas dasar pasal ini ayat anu, atau 5 tahun penjara dengan dalil pasal sekian ayat itu. Padahal yang kami lakukan hanya mencuri 3 buah dari kebun tetangga, hanya seekor ayam jantan yang masih muda, hanya sepotong roti yang di jual di pasar itu. Hanya itu! Tapi hukuman yang kami terima seperti kami telah mencuri seluruh buah yang ada di kebun itu, mencuri seluruh Ayam yang ada di kandang ternak itu. Tapi... ah... tak ada gunanya kami mengeluh.
Sementara Kami dihukum hidup didalam jeruji besi karena mencuri untuk sesuap nasi. Bapak/ibu yang menjadi wakil kami yang katanya “Terjerat Kasus Korupsi Miliaran Rupiah” seperti bebas mengepakan sayapnya sambil berbaring di ranjang empuk mereka. Padahal, mereka mencuri ! MENCURI hak kami. MENCURI HAK BANGSA ! Sekali lagi MEREKA MENCURI HAK KAMI ! tapi, tak tahu lah. Saya tak mengerti dengan hukum-hukum, dengan pasal-pasal, dengan ayat-ayat yang membahas tentang hukum menghukum para pencuri di negeri ini. tapi, meskipun saya tak mengerti, hati nurani saya protes keras. Timbul di fikiran saya tentang kasus curi-mencuri ini. “Kami, wong cilik mencuri demi sesuap nasi, demi menyambung hidup ini, makanya kami mencuri sepotong roti di sebuah warung di pasar itu, karena itu lah kami mencuri sedikit buah yang ada di kebun juragan Anu, karena itu lah kami mencuri ayam milik tetangga kami. Lalu, para bapak/ibu yang memimpin kami dan yang menjadi wakil kami yang telah di beri rumah gedongan, yang telah di beri mobil dengan harga yang tak pernah singgah di otak kami, dengan fasilitas-fasilitas yang serba WAH... untuk apa mengambil HAK KAMI ? Untuk apa MENCURI ? Bukan kah lebih besar jumlah yang mereka curi daripada kami ? Bukan kah mereka tak punya alasan logis sehingga mereka MENCURI uang rakyat ? Tetapi, mengapa kami yang di tahan 3,4,5,6,7,8,9,... tahun sementara mereka bebas bernafas ? tetapi, mengapa kami di gebuki massa sampai babak belur sementara mereka yang katanya Terjerat Kasus Korupsi Miliaran Rupiah tidak ? menurut kami INI TIDAK ADIL PAK/BU...
Kini...
Bangsa ini rindu banyak hal...
Bangsa ini merindukan sosok pemimpin yang dapat jadi panutan, yang menganggap bahwa kepemimpinan mereka adalah sebuah tanggung jawab yang akan Tuhan pertanyakan,pemimpin yang mengnggap TAHTA adalah ujian, pemimpin yang takut meneyelewngkan amanat yang diberikan rakyat padanya, pemimpin yang tak mau kenyang sebelum rakyat tertidur nyenyak karena kenyang, pemimpin yang tidak memperkaya diri sendiri, pemimpin yang saling membantu dan bahu membahu bukan pemimpin yang saling menjatuhkan merebut kursi jabatan. Bangsa ini merindukan itu. Negara ini membutuhkan sosok pemimpin seperti itu bahkan kalau bisa yang sepeti Rasulullah atau sahabat-sahabatnya. Dimana mereka tidak memperebutkan tahta, malah ketika mereka diberi tahta mereka menagis karena besarnya tanggung jawab yang mereka pikul.
Bangsa ini rindu keadilan.
Sangat merindukan keadilan para penegaknya. Bangsa ini rindu keadilan. Bentrok yang terjadi di mana-mana bisa di katakan karena ketidak adilan hukum yang di tegakkan.
Kami, rakyat mu butuh keadilan mu wahai para wakil kami...
Kami, rakyat mu butuh kesungguhan mu dalam memimpin kami wahai para wakil kami...
Kami, rakyat mu menaruh harapan besar di pundak anda wahai pemimpin kami...
Kami, rakyat mu merindukan kejayaan bangsa ini seperti di zaman Majapahit, Sriwijaya, dan lain-lain...
Kami merindukan keadilan di negeri yang indah ini, karena dengan keadilan InsyaAllah semua masalah akan teratasi dengan baik karena tidak ada pihak-pihak yang hanya menguntungkan diri sendiri...

Terimakasih.


Dari Seseorang Yang Bangga Menjadi Anak Indonesia


Nur Syaidah Annisa

2 komentar:

  1. luuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaarrrrrrrr
    biiiiiiiiiiiiiiiiiiiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssssssssssssaaaaaaaaaaaaaaaa..

    aku bangga sama kau ca.. ..

    BalasHapus